Wednesday, February 25, 2009

Mentari Tengah Hari

Manusia-manusia itu ada yang dikirim dari kesatuan kepada kejamakan, dari Wahdat ke Katsrah. Mereka ditutupi oleh kegelapan dari sifat dasarnya sendiri. Hal ini berlangsung melalui Tajalli daripada kemurkaan Illahi, yang mana do’anya :

A’udzu bi afwika min shaktika
“Aku memohon perlindungan ampunan dari kemurkaanMu”

A’udzubilahi mina’syaithoni’rajjim
“Aku memohon perlindungan Allah dari syetan yang direjam”.

Tajalli ini bagai awan panas yang bisa terbang menghilang. Ini adalah kehidupan manusia ‘yang di setujui’ dari kehidupan manusia yang dilakukan seorang salik.
Ada pula kelalaian manusia ‘yang di akui’ diatas bumi ini dan mengamati perbuatan-perbuatan dari adat-istiadat dari kaum mereka sampai kepada batas, bahwa pembatasan-pembatasan duniawi mereka tidak mengambil warna dari Ruh, seperti terjadi pada Aulia tertentu dan nabi-nabi seperti Idris. Tajali ini daripada Dzat timbul pada suatu saat dan menghilang disaat yang lain. Bila berlaku terus menerus, pembatasan-pembatasan pun akan hilang.

Arwahinna ajsaadinaa wa ajsaadinaa arwahinaa
“Roh Kami adalah tubuh Kami dan tubuh Kami adalah roh Kami”.

Ada juga beberapa yang dimusnahkan yaitu menjadi lupa pada diri mereka sendiri dalam suatu Tajalli daripada Dzat, dan berada tetap dalam Maqom-i Mahmud (tempat yang mulia) untuk selama-lamanya, mereka adalah Madzjuub Absolut. Beberapa di antara mereka yang kembali dari tempat yang mulia itu, menjadi saalik. Dalam suluknya mereka terkadang menjadi bebas dan begitu menurun, mereka menjadi seperti ternak dan menurun lagi, Ulaikaa’l anaami balhum adhallu’ dan kadang-kadang beberapa diantara mereka mendapat kenaikan dengan melakukan perjalanan dari tajalli dari Dzat kepada Sifat dan dari Sifat kepada Af’al. Dengan demikian lengkaplah sirkuit dari perjalanan mereka. Suluk ini terjadi dari perjalanan kepada Tuhan, dengan Tuhan (bi’llah), dalam Tuhan (fi’llah) dan bersama Tuhan (ma’a’llah). Perjalanan itu adalah reklamasi yang lain-lain.

Seorang madzjuub kembali dari jazbaah bagai matahari di tengah hari, tidak membuat bayangan, dan dalam kembalinya, dia seperti matahari yang terbenam yang telah melakukan semua perjalanan.

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan
Ku cukupkan kepadamu nikmatKu” (QS : Al Maidah : 3)

Sunday, February 15, 2009

Bayangan Neraka

Alam dunia dan segala isinya ini adalah bayang-bayangnya neraka, mari kita tatap matahari, gunakan sebuah cermin kaca yang berwarna hitam, maka akan nampak bayangan sebuah bola api besar yang menyala-nyala, bayangkan panasnya, mencapai ribuan derajat celsius. Tetapi bila kita mendekati ke pusatnya, misal pernahkah anda hiking? naik ke puncak gunung, mendekati matahari, maka semakin tinggi semakin sejuk udaranya dan sinar matahari lebih terasa nyaman.

Sohibz, kiasan ini (qiyas) memberi satu petunjuk agar setiap manusia mau berpikir dan mencari dan jangan merasa jauh dengan Dzat Allah SWT.
Cermin kaca hitam tadi itu ibaratnya Jasmani kita yang menjadi hijabnya kepada Dzatullah. Sumsum, Tulang, Daging dan Kulit kita inilah yang menjadikan hijabnya kepada Allah SWT.

“La hijabak illa wujudika papnin”
“Sesungguhnya Allah tidak menghijab selain diri kamu, jika ingin tahu akan Aku, bongkarlah dirimu, jangan merasa memiliki ada wujud dan alam ini sebab Aku Nafi Isbat"

So...bagaimana caranya agar kita bisa menghilangkan jasad dan alam dunia ini ? Apakah waktu tidur ? waktu pingsan ?. Tidaklah seperti itu, karena walaupun dalam tidur tidak merasa ada wujud dan dunia terasa menghilang, tetap dalam kondisi seperti itu tidak akan ketemu DzatNya Allah SWT. Manusia waktu tidur adalah lupa, bahkan Iman pun tidak ada, sebab bukan demikian jalannya. Patokan ma’rifatullah adalah dari tarikat, belajar Ilmu harus disaat jaga, yaitu dalam Terang. (Terang artinya Tahu, Pengetahuan itu adalah Ilmu) segala pekerjaan manusia dikerjakan ditempat terang, terangnya cahaya dan tahu ilmunya. Tanpa itu segala pekerjaan adalah sia-sia.

Thursday, February 12, 2009

ASMA ALLAH

Allah itu setegasnya adalah nama Tuhan yang diibadahi oleh semua mahluk diseluruh alam dan zaman. Allah adalah bibit buit segala yang wujud yang ada di semua alam dan zaman. Allah itu Wujud Yang Maha Suci yaitu kontaknya dari segala yang disebut Suci, yang menjadi ‘segara-nya rasa-rasa yang Suci’.
Kita adalah mahlukNya, yang berasal dari Dia harus mau berjalan menuju Allah SWT, mau ber ikhtiar mencari jalan (Ilmu) nya agar mengenal dan merasakannya dengan yaqin, hingga kelak bila kita telah selesai mengembara di alam dunia ini, bisa kembali lagi kekampung asal kita, yaitu ke alam kelanggengan yang penuh dengan kenikmatan, bisa masuk ke wujud yang penuh dengan rasa suci yaitu kepada Allah SWT, kepada Rasa Allah, menepati dalil Al Qur’an “Innalillahi wa inna llaihi Rojiun”.

Asma Allah (Nama ALLAH) itu ada empat huruf yaitu Alif Lam Lam Ha, asal dari Dzat Sifat Allah jua. Dzat adalah Kenyataan, Sifat adalah Rupa. Keempat huruf itu hakikatnya asal dari Nur yang empat rupa, yaitu sorotnya dari Jauhar Awal (Nur Allah) yang sifatnya terang, kemudian muncul kenyataan cahaya Af’al yang disebut Nur Muhammad atau Hakikat Adam, bibit buit alam ini yaitu yang disebut Naruun, Hawaun, Turobun dan Ma’un. Segala yang ada di alam ini, benar semua berasal dari Allah, yaitu dari Nur yang empat tadi dan ke-limanya adalah Jauhar Awal. Tidaklah berpisah Dzat dengan SifatNya Maha Suci, juga Asma-nya, sudah Sa-Adat antara Allah, Muhammad, Adam bergulung yang disebut Ahadiat, Wahdat, Wahidiat atau Dzat, Sifat, Asma. Sedangkan Af’al nya yakni Alam Dunia dan segala isinya.

Adanya Api di alam dunia dari sorotnya Naruun (cahaya merah)
Adanya Air di alam dunia dari sorotnya Ma’un (cahaya putih)
Adanya Angin di alam dunia dari sorotnya Hawaun (cahaya kuning)
Adanya Tanah di alam dunia dari sorotnya Turobun (cahaya hitam)

Asma Allah tidak pernah jauh dari Qadimnya, tetap ada lima huruf, Rukun Islam ada lima perkara, Sholat ada lima waktu, Imam (Madzhab) ada empat kelimanya Baitullah, Sahabat Nabi ada empat, kelimanya Rasulullah sendiri, semuanya mengisyaratkan lafadz Allah SWT. Dia yang begitu Sempurna.... Dia Yang Maha Hidup...dalam Qur’an Suci disebutkan bahwa Allah SWT meliputi tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, kenyataannya diliputi semuanya itu adalah oleh Asma-Nya. Satu Asma tapi cukup untuk semuanya.

Tuesday, February 10, 2009

Nafsu Manusia

Setiap manusia yang Hidup di alam ini tentu memiliki Rasa, dimana ada hidup tentu ada Rasa, ada Rasa tentu ada Hidup. Hakikat Rasa adalah utusan Hidup. Jirim dan Jisim manusia adalah tempat Rasa. Hidup dengan Rasa, kaya akan Rasa. Pada hakikatnya manusia lahir ke dunia ini karena ada Rasa, yang tak lain dari Rasa Ibu dan Bapak kita, setelah sah menjadi suami istri, sejak sah melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri, dimana dua rasa bergulung menjadi satu. Didalam rahim sperma tumbuh menjadi segumpal darah, lalu menjadi janin dan ada hidup setelah 120 hari, Allah SWT mengutus Ruhul Qudus kedalamnya. Ketika bayi lahir ke alam dunia Ruhul Qudus atau ‘Hidup Suci’ itu kontak dengan hawa-hawa dunia yang mengadung unsur-unsur Air, Angin, Api, dan Tanah, timbullah Nafas yaitu sifatnya Nyawa.

Saat pertama kali bayi mengecap air susu ibunya, maka Rasa Sejatinya atau Rasa Azali nya kontak dengan saripati-saripati makanan yang terkumpul dalam ASI, yang asal kejadiannya pun dari empat unsur-unsur alam dunia tadi, sebab jika Ibunya tidak memakan makanan yang ada di alam ini, tidaklah mungkin akan ada air susunya. ASI yang dihisap bayi terus mendorongnya menjadikan sebuah keinginan (nafsu), maka dari situ mulai tumbuhlah Nafsu, yaitu pada saat kontaknya Rasa Sejati dengan Air Susu Ibu, betapa si bayi merasakan manisnya rasa susu yang membuatnya semakin lama semakin ketagihan, telat diberi ASI pun menangislah sang bayi,hawa dari makanan dan minuman terus mendorong bayi tumbuh membesar dan memproduksi Darah, inilah yang disebut Roh Jasmani.

Buktinya jika darah mannusia beku maka berhenti pula Nafas dan Nafsu-nya, sedangkan Hidup Suci yang di utus Allah SWT tadi sewaktu azali, akan tetaplah Hidup, karena asal dari Sang Maha Hidup. Bayi semakin hari semakin tumbuh besar, semakin kuat pula keinginannya, maka semakin tebal pula nafsu-nafsu menghijabnya hingga lupa kepada hidup-nya yang azali. Alangkah arifnya bila kita manusia mau mengenal ke asal-usul kejadian dirinya, karena ini semacam barometer untuk mengenali jalan pulang ke kampung asalnya yaitu ke Sagara Hayat, kepada Sang Maha Hidup, Allah SWT. Berusahalah agar menjadi arif, jika kita telaah Rukun Islam yang kelima yaitu Naik Haji ke Baitullah, bila dipikir dibolak balik, dikaji dan ditelaah dengan seksama, maka itu mirip sebuah ibarat, illustrasi perjalanan manusia ke Pusat Diri, salah satu rukun haji yaitu melaksanakan Thawaf mengelilingi Ka’bah yang gerakannya melingkar yang berlawanan dengan arah jarum jam, mengandung makna menyingkapkan kembali hijab-hijab diri dari nafsu-nafsu yang terlanjur membalut raga, agar bisa menemukan kembali Hidup Suci, bisa “Mulih ka Jati Mulang ka Asal”, menepati dalil Qur’an Suci - Innalilahi wa inna illaihi Rojiun...

"Sesungguhnya kita (manusia) berasal dari Allah dan Sesungguhnya kita (manusia) akan kembali kepada Allah jua"

Benarkah kita merasa asal dari Allah SWT ? Jika pengakuan kita seperti itu, maka WAJIB kita kembali itu kepada Allah SWT.

 
© Copyright 2012 RasaDzaati
Alwinz