Friday, March 27, 2009

Hakikat Lailatul Qadar

Sesungguhnya aku telah turunkan al Qur’an di malam yang penuh berkah “(Ad Dukhan : 3)

Hakikat Lailatul Qadar adalah kejernihan dan kebersihan, itulah mengapa Allah mensifatinya “pada malam itu dijelaskan segala perkara yang penuh hikmah”

Demikian halnya dengan nafsu, diciptakan didalamnya perkara-perkara yang penuh hikmah, dibisikkan kepadanya kedurhakaan dan ketaqwaan. Hati manusia ibarat langit dunia yang diturunkan kepada al Qur’an secara keseluruhan, lalu perlahan menjadi jelas dan terang, tergantung kepada si penerimanya. Mereka yang menerima dengan matanya tidak sama dengan mereka yang menerima dengan telinganya. Arti bahwa Al Qur’an diturunkan secara keseluruhan kedalam hatimu tidak berarti bahwa kita telah hafal dan merasakannya.

Namun artinya bahwa al qur’an itu telah kita miliki dan ada pada diri kita, hanya saja kita tidak mengerti dan tidak menyadarinya. Langit dunia pun demikian ketika turun kepadanya Al Qur’an tidak berarti ia menjaga nash-nash nya. Ini adalah permasalahan rohani... And then bagaimana Al Qur’an itu senantiasa turun terus menerus kedalam hati hamba-hamba, adalah karena kejadian itu tidak mungkin terjadi dalam dua masa yang berbeda, dan kejadian itu juga tidak mungkin berpindah dari satu tempat ketempat lainnya.
Ketika telinga mendengar suara yang membacakan ayat, maka Allah menurunkan ayat tersebut kedalam hati pendengarnya agar ia menyadari dan menjaganya. Apabila hati tersebut sibuk maka sang pembaca pun mengulangi bacaannya dan kembalilah Al Qur’an itu turun. Begitulah al Qur’an turun secara terus menerus dan abadi. Kalau ada orang yang berkata “Allah telah menurunkan al Qur’an kepadaku “ sesungguhnya ia tidak berbohong karena Al Qur’an telah senantiasa melakukan perjalanan kedalam hati dan sanubari hamba-hamba yang menjaganya. Maka sesungguhnya manusia yang sempurna tidak lain adalah Al Qur’an itu sendiri. Ia datang dari dirinya menuju malam yang penuh berkah. Malam itu gaib dan langit-langit dunia adalah tutup keagungan yang paling rendah, disana ada penerangan dan pembeda yaitu bintang-bintang dan tergantung hakikat ilahiyah untuk memahaminya. Ia menunjukkan hukum-hukum yang berbeda-beda. Manusia yang memahami itu semua. Bintang-bintang itu senantiasa turun kedalam hatinya hingga kemudian menyatu, lalu lenyap dan terbukalah hijab itu, sirnalah ia dari ketentuan “dimana” dan “apa” dan hilang kegaiban.

Al Qur’an yang diturunkan adalah kebenaran sebagaimana Allah SWT menyebutnya kebenaran, setiap kebenaran adalah hakikat dan hakikat Al Qur’an adalah manusia itu sendiri’.

Renungkanlah perjalanan ini dan engkau akan terpuji dipengujungnya.

Monday, March 02, 2009

Manusia Tuhan


Siapakah orangnya yang sudah bisa sholat yang di dalam sholatnya bisa mentransendir peran dirinya menjadi peran Ketuhanan, Qudrat dirinya menjadi Qudrat Allah dan Iradat dirinya menjadi Iradat Allah? Dirinya adalah Qodrat dan Iradat Allah. Qodrat dan Iradat dirinya sudah ditinggalkan. Peran dirinya, motivasi hawa nafsunya sudah dihilangkan. Siapakah sesungguhnya orang yang begitu? Apakah wujudnya orang yang seperti itu? Dia adalah bukan manusia, karena dia adalah makhluk yang datang dari hadirat Allah. Dia adalah orang-orang Tuhan. Dia adalah hamba-hamba Allah. Dalam sebutan orang biasa ia adalah orang-orangnya Allah. Tapi pendapat yang lebih ekstrim menyebutnya sebagai Wujudullah itu sendiri. Wujudullah itu bukan Dzatullah. Wujudullah adalah penampilan Tuhan.

Tapi tidak usah dipermasalahkan karena hakikatnya sama, hanya permasalahan bahasa. Pada pokoknya dia adalah orangnya Tuhan. Dia adalah manusia yang mengaf’alkan sifat-sifat Tuhan. Mereka adalah para Nabi, para Rasul, para orang suci, para sufi. Mereka adalah manusia biasa yang bisa ditanya dan diraba fisiknya. Dzatnya tetaplah dzat manusia, tapi wujudnya adalah wujud Tuhan. Karena perannya adalah peran Ketuhanan, kodratnya adalah Kodrat Allah, iradatnya adalah Iradat Allah. Jadi wujudnya adalah wujud Allah di dalam ruang dan waktu yang terbatas. Bukan Allah yang transenden tapi Allah yang imanen.

Pandanglah sebuah daun talas dengan setetes air di atasnya. Daun talas itu perumpamaan fisik, air adalah perumpamaan diri, sedangkan sorot matahari yang ada di dalam air itu adalah perumpamaan kehadiran Tuhan di dalam diri. Meskipun Tuhan tidak bisa diperumpamakan, ‘Dzat laitsa kamishlihi’ tapi ini adalah rekayasa akal untuk bisa mempersepsikan sesuatu yang tak bisa dipersepsi. Dia persis seperti matahari, bersinar putih cemerlang. Tetapi refleksi matahari ini tidak bisa dikeluarkan dari air, karena pada hakikatnya ia ada. Begitu pula dengan manusia Tuhan, dia persis seperti Tuhan. Kehendaknya adalah kehendak Tuhan. Hidayahnya adalah hidayah Tuhan. Tetapi dimana letak Tuhan di dalam dirinya tidak dapat ditunjukkan, karena hanya pantulan semata. Seperti itulah para Nabi, para Rasul, dan para sufi besar. Hanya wujud mereka saja yang lemah tapi Peran, Kodrat, dan Iradatnya adalah milik Tuhan.

Dalam permasalahan inilah timbul perbedaan pendapat antara ahli ilmu kalam dengan ahli ilmu tasawuf. Karena para ulama hanya memahami bacaan, sedangkan ahli tasawuf menghayati kehidupan. Perolehanan para sufi adalah dari penghayatan hidup. Penghayatan dalam mencari siapakah sesungguhnya dirinya. Bukankah agama mengatakan kalau kita berbuat baik bukan kita yang berbuat baik, tapi Allah-lah yang berbuat baik, hanya melewati diri kita. Kita bukan Allah. Tapi kalau kita berbuat buruk, maka kitalah yang berbuat buruk, bukan Allah. Seperti itulah, Kodrat dan Iradatnya adalah Iradat Allah.

Sebagian manusia memahamai hanya melewati suatu bahasa tinggi, bahasa falsafah. Sedang bagi para sufi ini hanya perbedaan bahasa, bukan perbedaan substansi. Jadi antara ahli ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan para ahli tasauf sesungguhnya tidak berbeda. Perbedaannya hanya perbedaan bahasa. Perbedaan kecerdasan untuk mengungkapkan siapakah Tuhan sebenarnya. Karena Tuhan dalam Ahadiyah-Nya, tak seorangpun yang tahu. Bahkan Nabi2 juga tidak tahu. Malaikat2 pun tidak tahu. Tuhan dalam kesendirian-Nya adalah tertutup, tidak ada sesuatupun yg tahu. Sehingga Rasulullah ketika ditanya bagaimana ma'rifatnya terhadap Allah, dia hanya mengatakan "Araftu bi rabbi...." Kukenal Tuhanku dengan Tuhanku. Bukan dengan akalku, bukan dengan ibadatku, ataupun kesucianku. Kukenal Tuhanku dengan Tuhanku. Yang mengenal Tuhan itu Tuhan sendiri yang hadir dalam hatinya.

Daun talas tidak tahu apakah matahari ada atau tidak ada. Air yang di atasnya pun tidak tahu matahari ada atau tidak ada. Yang mengetahui bahwa matahari ada itu hanyalah matahari kecil yang ada dalam refleksi ini. Matahari kecil ini adalah perumpamaan iman. Kehadiran Allah di dalam dada menurut istilah syariat adalah iman. Kehadiran Tuhan adalah bagai pantulan ini, yang bukan bagian diri kita karena ketika kita mengeluarkan matahari kecil ini nyatanya tidak bisa. Maka Rasulullah mengatakan "Kukenal Tuhanku dengan Tuhanku". Bukan dengan akalnya, bukan dengan perbuatan amal sholehnya, melainkan dengan Allah yang hadir pada dirinya. Itulah yang mengetahui Tuhan. Maka banyak doa yang menyeru Tuhan dengan sebutan "Wahai Dzat Yang tiada tahu siapa Dia kecuali Dia sendiri". Yang tahu siapa Allah itu hanya Allah, yaitu Allah yang transenden. Allah Yang dalam Al-Ahadiyat-Nya. Allah Yang Tetap.
 
© Copyright 2012 RasaDzaati
Alwinz